Gadis berkerudung merah marun itu bergegas dengan langkah panjang, tak sedikitpun merasa berat dengan ransel besar yang bertengger di pundaknya. Ia menuju pelataran mesjid di pusat kota untuk bersiap menghadiri koordinasi pra aksi damai. Dengan TOA yang tergenggam di tangan kanannya, ia bertekad menyuarakan aspirasi, menuntut pemerintah kota memperhatikan nasib generasi muda yang semakin tergerus budaya luar dan menanggalkan jati diri sebagai tunas peradaban. Langkahnya semakin mantap ketika kawan seperjuangannya menyambut di pelataran mesjid dengan bendera berkibar. Ia tersenyum bersemangat.
***
Di sudut lain, kuamati lingkaran kecil di serambi mesjid kampus. Dalam keheningan siang hari, beberapa orang dalam lingkaran itu terlihat bersemangat menyuarakan gagasan tentang topik hangat kontemporer. Sesekali kawan diskusinya menanggapi bahkan membantah gagasan namun masih dalam suasana yang begitu cair, khas mahasiswa.
***
Saat duduk di balkon fakultas sambil melihat jadwal perkuliahan, tanpa sadar aku amati lagi satu sosok dengan tas ransel di punggung dengan belasan pin yang menempel. Sepertinya pin organisasi dan berbagai kegiatan yang ia ikuti. Hebat! Seruku dalam hati. Aku berkesimpulan sementara, oh mungkin itu ciri-ciri aktivis. Ransel besar ditempeli pin, sandal gunung, kerudung yang lebar, berbagai atribut organisasi dan aktivitas yang mobile. Ciri yang terakhir mungkin benar. Tapi… ciri secara fisik dan penampilan? Mungkin bisa dibantah. Karena tolak ukur seorang aktivis tidak hanya dilihat dari ciri fisik, bukankah begitu?
***
Siang ini, tak sengaja aku terlibat obrolan ringan dengan ibu. Ibu tengah menjahit pakaian, sedangkan aku tengah “bercumbu“ dengan kertas digital. Menumpahkan seluruh gagasan dalam benak agar tak membeku. “Aktivis itu harusnya serba bisa..” Ucapan ibu memecahkan keheningan berpikirku, yang tengah loading saat ingin menuliskan sesuatu.
Terpaku dengan ucapan itu, dan perlahan membuatku sadar, memang ada benarnya. Tak terbayang jika seorang aktivis khususnya akhwat yang begitu mobile, bergerak kesana-kemari menyebarkan proposal dan audiensi dengan berbagai instansi. Namun, saat dihadapkan dengan kehidupan rumah tangga, langsung gigit jari, karena terlalu sibuk aktivitas di luar rumah, sedangkan urusan rumah tangga masih saja keteteran. Tidak sempat membereskan tempat tidur atau kamar kosan, karena harus langsung rapat teramat pagi. Bahkan sarapan pagi terlewat karena tak sempat masak, yang akhirnya kesehatan diri pun tidak diperhatikan.
Mungkin, memang tidak semua aktivis seperti itu. Jangan sampai karena kelalaian diri sendiri, aktivitas dakwah dinilai menjadi penyebab kesemrawutan urusan rumah tangga. Duh, dzalim sekali… Karena tak bisa memanage aktivitas, mengelola waktu dan energi.
Aktif di kampus itu tidak salah, yang salah itu kalau tidak aktif di mana-mana. Semakin salah lagi jika aktivis yang telah dikenal hebat dalam pergerakan kampus, namun langsung “gigit jari” saat dihadapkan pada realitas lain di luar kampus dengan setumpuk persoalan rumah tangga yang akan dihadapi setelah menikah nanti.
Obrolan siang ini begitu mengalir, aku menyimak kalimat demi kalimat dari ibu. Semua ini menyisakan setumpuk pertanyaan yang belum kujawab pada diri sendiri, sudah saatnya memproporsikan diri dengan seimbang, menyiapkan bekal di masa depan.